Minggu, 23 Juni 2013

Jaipong, Antara Seni dan Seksualitas


Jaipong, seni yang berasal dari tanah Sunda 

Di tahun 1980an, Gugum Gumbira menciptakan sebuah kreasi tari baru yaitu Jaipong. Tari ini dibuat berdasarkan perpaduan dari keahlian pencak dan ketuk tilu yang ia miliki. Gerakannya yang menunjukan sisi ke feminiman dari seorang wanita inipun berhasil membius masyarakat dan menghimpun para penikmat yang kebanyakan dari kalangan pejabat di wilayah pantura.

Jaipong Tradisional

Dalam perjalanannya untuk memperkenalkan tarian ini, Gugum menuai banyak kontroversi. Banyak yang memberikan anggapan miring tentang kreasinya yang terkesan eksotis. Namun Gugum tidak menyerah begitu saja karena ia menganggap seni adalah kebebasan dan tari merupakan sebuah seni tubuh yang dilafalkan lewat gerakan yang indah. Berkat kerja kerasnya, Jaipong pun sampai kepada bentuk yang dianggapnya paling sempurna dan terkenal se-antero negeri.

Jaipong modern

Jaipong gugum mempunyai kekhasan gerak yakni: dituntut adanya kebebasan, sikap tangan dengan posisi ke atas, banyak gerakan menendang seperti tejeh, depok, emprak, serta arah pandangan tajam menuju penonton menandakan suatu kewaspadaan. Gerakan menendang dicomot gugum dari keahlian pencaknya. Ini ia anggap sebagai luapan emosi positif yang akan membawa kepada suatu suasana bebas. Faktor yang paling penting dari tarian jaipong adalah penarinya harus memiliki keikhlasan “mengganti” keterbelengguan diri menjadi sosok bebas yang atraktif. Oleh karenanya dalam tarian jaipong tak hanya mengandalkan perasaan, tetapi dituntut suatu keberanian dalam mengungkapkan gerak dengan energi ekstra dari setiap unsur bagian tubuh. Mulai dari kaki, tangan, kepala, dan bagian tubuh lainnya. Inilah yang tidak dimilki oleh tarian asal sunda lainnya. Jaipong merupakan bentuk tarian dari proses penjelajahan gerak yang diformalisasikan ke bentuk tema orisinalitas dan individualitas. Apabila tarian lain yang bergaya klasik lebih dominan pada tepak kendang, jaipong cenderung lebih. 


Jaipong dangdut, membuat Jaipong mulai terkesan sensual

Eksotis, itulah pandangan masyarakat sunda terhadap kesenian ini. Jaipong pun kemudian menjadi pekerjaan untuk menopang hidup para seniman tari. Banyak sanggar tari khusus untuk Jaipong yang menyediakan jasa tari pada acara-acara tertentu. Biasanya tarian ini dinikmati menggunakan uang saweran. Para pria menari diantara para penari Jaipong dengan membawa uang saweran sebagai bayaran atas gitek, goyang, dan geol yang mereka sajikan.

penari Jaipong dangdut yang sedang disawer

Sebenarnya, gitek, geol, dan goyang bukan formula esensi dari kreasi gugum. Ketiga gerakan tersebut merupakan spontanitas para penari jaipong. Akan tetapi karena tiga unsur gerak tersebut, jaipong malah dicekal dan dianggap sebagai kesenian yang erotis. Pro kontra muncul dimana-mana, khusunya dengan diangkatnya polemik mengenai jaipong ke seminar-seminar atau di blow-up di media massa. Akibat dari pandangan-pandangan salah mengenai jaipong, pada akhirnya malah menjudge jaipong sebagai sebuah tarian yang lebih mengedepankan sensualitas dan menonjolkan erotisme.


Sekitar empat tahun yang lalu, sempat terjadi polemik mengenai tari Jaipong. Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan, menhimbau agar dandanan dan gerakan para penari Jaipong lebih diperhalus. Namun, publik mengartikan berita ini sebagai pencekalan terhadap tari Jaipong dan muncul lah pro dan kontra mengenai kasus ini. Ada yang menyatakan bahwa seni tidak seharusnya dibatasi karena seni merupakan bentuk kebebasan berekspresi dari masing-masing pribadi. Ada pula yang meng-iya-kan pernyataan Pak Gubernur bahwa Jaipong sudah berkembang dari bentuk awalnya dan telah diracuni dengan unsur eksotisme untuk menyesuaikan keinginan pasar dan memberikan kesan buruk terhadap seni kebudayaan Sunda. Perdebatan ini cukup merisaukan jajaran seniman dan budayawan Sunda, bahkan permasalahan ini sempat meruncing walau pada akhirnya semua telah dianggap selesai.


Sebenarnya, kerisauan pejabat seperti itu tak usah dianggap sebagai sebuah penghakiman akan kelangsungan Jaipong. Karena telah lama kita ketahui, atas inisiatif nonpemerintah pun, Jaipong cukup popular hingga ke taraf mancanegara, dan bahkan disebut sebagai salah satu ikon Indonesia. Jangan sampai karena terlalu serius menanggapi imbauan pejabat, salah-salah malah bisa menimbulkan kesan bahwa kegiatan seniman cenderung telah masuk ke dalam lingkaran birokrasi.

Jaipong telah diakui oleh mancanegara


Ada baiknya para seniman jaipong menggagas sebuah pemikiran yang otokritik dengan memikirkan jalan mana yang akan digunakan sebagai pijakan untuk melangkah ke depan. Jika perlu, apabila campur tangan birokrat dianggap sudah terlalu mencampuri kreativitas artistik, berlalulah saja dari keberingsutan dinas kebudayaan atau lembaga sejenisnya.





Author:
PA


Source:



0 komentar:

Posting Komentar